Rujuk

 

Secara terminologis, rujuk adalah mengembalikan istri yang tertalak pada keadaannya semula, yaitu sebagaimana dia sebelum ditalak,1Ali bin Sa’id al-Ghamidi, Fikih Wanita: Panduan Ibadah Wanita Lengkap dan Praktis, (Solo: Aqwam, 2013), h. 317. dengan kata lain rujuk merupakan kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i2Talak raj’i ialah talak pertama dan kedua (sebelum yang ketiga kali) terhadap istri yang sudah digauli dan tanpa ‘iwadh (ganti rugi yang dibayar oleh istri). Wanita yang ditalak raj’i status hukumnya seperti istri, yakni masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal, dan yang lainnya, sampai habis masa ‘iddahnya. Bila masa ‘iddahnya habis maka dia lepas dari suaminya. Bila suami ingin merujuknya sebelum masa ‘iddahnya berakhir maka dia cukup berkata kepadanya, “Aku merujukmu”, namun disunahkan agar mendatangkan dua orang saksi yang adil. Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim: Panduan Hidup Menjadi Muslim Kaffah, (Solo: Pustaka Arafah, 2014), h. 679., dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.

Menurut arti bahasa, kata raj’ah bermakna “sekali kembali”, sedang menurut syara’ adalah mengembalikan istri yang masih dalam ‘iddah talak bukan ba’in kepada pernikahan semula.3Zainuddin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, 1980), h. 167.

Setiap mazhab memiliki definisi masing-masing berkenaan dengan rujuk yang kesemuanya memiliki akar pemahaman yang sama. Menurut mazhab Hanafi, rujuk ialah mempertahankan hak milik yang masih ada tanpa kompensasi di masa iddah. Sedangkan menurut mazhab Maliki, rujuk berarti kembalinya istri yang ditalak ke dalam ikatan perkawinan tanpa memperbarui akad nikah. Mazhab Syafi’i mendefinisikan bahwa rujuk adalah mengembalikan istri ke dalam pernikahan setelah ditalak di masa ‘iddah –bukan talak ba’in. Sedangkan mazhab Hambali menjelaskan bahwa rujuk adalah mengembalikan istri yang ditalak – bukan talak ba’in– kepada pernikahan seperti sedia kala tanpa akad.4Abdurrahman al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 852-855. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka rujuk adalah perdamaian antara suami dengan mantan istrinya yang sebelumnya telah dijatuhi talak raj’i.

Raj’ah, menurut pengucapan yang lebih fasih, dan boleh dibaca rij’ah, artinya menurut syarak ialah satu ungkapan tentang kembali kepada nikah sesudah terjadi talak yang bukan talak ba’in dengan cara tertentu. Abu Syuja` al-Ashfahani menyatakan apabila suami mentalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, maka ia dapat kembali (rujuk) kepadanya selama „iddahnya belum habis. Jikalau ‘iddahnya belum habis ia tetap dapat menikahinya sebagaimana awalnya, seorang istri dapat menetap dengan suaminya dalam sisa bilangan talak yang masih ada.5Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar: Kelengkapan Orang-orang Shalih, Bagian Kedua, (Surabaya: Bina Iman, tt.), h 218.

Lihat penggunaan kata “rujuk” di dalam Al-Quran, klik di sini.

Referensi: repository.iainbengkulu.ac.id

Catatan Kaki:

  • 1
    Ali bin Sa’id al-Ghamidi, Fikih Wanita: Panduan Ibadah Wanita Lengkap dan Praktis, (Solo: Aqwam, 2013), h. 317.
  • 2
    Talak raj’i ialah talak pertama dan kedua (sebelum yang ketiga kali) terhadap istri yang sudah digauli dan tanpa ‘iwadh (ganti rugi yang dibayar oleh istri). Wanita yang ditalak raj’i status hukumnya seperti istri, yakni masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal, dan yang lainnya, sampai habis masa ‘iddahnya. Bila masa ‘iddahnya habis maka dia lepas dari suaminya. Bila suami ingin merujuknya sebelum masa ‘iddahnya berakhir maka dia cukup berkata kepadanya, “Aku merujukmu”, namun disunahkan agar mendatangkan dua orang saksi yang adil. Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim: Panduan Hidup Menjadi Muslim Kaffah, (Solo: Pustaka Arafah, 2014), h. 679.
  • 3
    Zainuddin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fathul Mu’in, (Kudus: Menara Kudus, 1980), h. 167.
  • 4
    Abdurrahman al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 852-855.
  • 5
    Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar: Kelengkapan Orang-orang Shalih, Bagian Kedua, (Surabaya: Bina Iman, tt.), h 218.

Modifikasi terakhir tanggal: 17/04/22 | 11:50